
KONDISI sepakbola Indonesia, kini benar-benar memprihatinkan. Bahkan, kalau mau jujur berada di bawah titik nadir. Tak ada prestasi yang signifikan. Kegagalan selalu datang menyapa dan menyambangi sepakbola Indonesia. Tak hanya itu, daun keberuntungan pun tak pernah membungkus tim nasional.
Ya, sejuta persoalan menyambangi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Organisasi yang sudah berusia 80 tahun tersebut, bahkan kini menjadi sorotan jutaan penduduk Indonesia.
Hal inilah yang membuat para mantan pemain nasional prihatin.
Adapun para mantan pemain nasional yang prihatin dengan prestasi sepakbola bahkan dengan induk organisasinya PSSI, seperti Johanis Auri, Nasir Salassa, Simson Rumah Passal, Yudho Hadianto, Hasan Tuharea, Rully Nere, Berty Tutuarima, David Sulakmono, Parlin Siagian, dan beberapa nama lainnya.
Atas keprihatinan itu dan tak ingin sepakbola Indonesia tertidur lelap menanti penantian panjang, mereka pun secara bulat mendeklarasikan Badan Sepakbola Rakyat Indonesia atau disingkat dengan BASRI di Hotel Century, Minggu (20/3). BASRI sendiri nantinya membuat metode baru dengan menggelar Liga Desa Indonesia (LIDI) yang dihelat dari desa-desa atau kampung hingga tingkat kecamatan mulai tingkat anak-anak, yunior, hingga dewasa.
“Prestasi sepakbola kita benar-benar sangat memprihatinkan. Banyak persoalan kenapa prestasi tim nasional kita jeblok. Hal ini makin diperburuk dengan kemelut yang terjadi di induk organisasi PSSI. Berangkat dari keprihatinan inilah, kami para mantan pemain nasional memandang perlu agar prestasi tim nasional bangkit kembali, seperti di era 1950 hingga 1980-an atau pada masa kami bermain,” ujar Johanis Auri, Koordinator Pusat BASRI kepada Warta Olahraga.
Menurut Johanis, prestasi sepakbola utamanya, tidak lahir sendiri atau begitu saja. “Dia harus dikemas lewat sebuah kompetisi. Nah model kompetisi yang akan dilakukan BASRI lewat LIDI-lah nantinya menghasilkan pemain-pemain nasional yang berkualitas yang berasal dari desa atau kampung menuju Senayan, bahkan pentas dunia, seperti Olimpiade atau Piala Dunia,” terang Johanis.
Hal senada juga diapungkan Simson Rumah Passal, mantan bek kanan terbaik Indonesia. “Indonesia harus bangkit. Model kompetisi dari desa atau kampung hingga kecamatan bukanlah barang baru. Di kampung saya di Halmahera, Maluku, banyak pemain-pemain berbakat. Kalau mereka diasah lewat sebuah pembinaan macam BASRI, mereka pasti bisa menjadi pemain nasional,” ungkap Simson.
Sebenarnya, jika model kompetisi digelar secara rutin di bawah satu wadah pasti akan menghasilkan pemain-pemain berbakat dan berkualitas. Penuturan tersebut diungkapkan Kepala Desa Komarung, Majalengka Siti Johariah dan Kepala Desa Majalengka Askari yang sengaja datang pada Deklarasi BASRI.
”Sepakbola itu seni dan indah, apalagi kalau dimainkan anak-anak. Kita bisa banyak belajar dari mereka. Jadi, menurut saya kompetisi sepakbola anak-anak apalagi digelar di desa-desa sudah seharusnya ada wadahnya. Supaya pembinaan bisa berlanjut. Untuk itu, tim kami, Panam yang mendaftar pertama,” kata Siti Johariah.
Ungkapan yang sama juga diucapkan Askari. “Sebelum BASRI ini dideklarasikan, kami dari Desa Majalengka sudah menggelar Kejuaraan BASRI Cup pada 2008. Pada waktu itu begitu banyak peminatnya. Kompetisi kampung atau desa model seperti ini sangat bagus, bahkan bisa melahirkan pemain nasional. Dari desa menuju Senayan atau dunia. Kami tim kedua yang mendaftar setelah Desa Kamarung,” ujar Askari yang juga salah satu Kepala Desa Terbaik tahun 2010 di Bumi Pertiwi ini.
Dasar keprihatinan atas prestasi timnas dan carut marutnya PSSI dan rasa memiliki terhadap sepakbola nasional juga diungkapkan Ketua PSSI Jakarta Timur Sutedjo. Menurutnya, PSSI harus segera direformasi.
“Kalau ditanya siapa orang pertama mengatakan PSSI harus segera direformasi dan lakukan revolusi, sayalah orangnya. Ya, prestasi sepakbola dan bobroknya kepengurusan PSSI membuat kita semua prihatin. Harus ada perubahan retrukturisasi organisasi dan manajemen di tubuh PSSI. Kita harus berani. Untuk itu, ke depan pengurus sepakbola harus mengerti sepakbola, ‘gila bola’, dan jangan mencari keuntungan atau berbisnis,” ujar Tedjo, sapaannya yang juga Ketua Umum Persijatim ini.
Deputi Menteri Pemuda dan Olahraga Bidang Pemberdayaan dan Prestasi Olahraga James Tangkudung pun merasa prihatin atas prestrasi sepakbola yang tak kunjung membaik.
“Saya ini lama menjadi dokter di PSSI mulai zaman Pak Azwar Anas hingga Pak Agum Gumelar. Memang banyak persoalan. Tapi, kalau kita mau prestasi sepakbola kita bisa maju, tinggal bagaimana kita mengemas dan membinanya. Saya harap 15-20 tahun mendatang timnas kita bisa tampil di pentas dunia,” harap James Tangkudung yang hadir memberikan kata sambutan mewakili Menpora Andi Alfian Mallarangeng.
Ya, sepakbola itu seni. Bukan politik. Kalau dikemas lebih baik niscaya menghasilkan sebuah prestasi. Di era 1950-an dan 1970-an, misalnya, Indonesia sangat disegani di belantara Asia, bahkan dunia. Jepang, yang kini jadi salah satu Macan Asia, misalnya tunggang langgang menghadapi Johanis Auri dan kawan-kawan. Pun begitu dengan Korea, Cina, dan negar-negara Asia dari belahan Asia Barat.
Kini yang menjadi persoalan, mampukah kita bangkit seperti masa keemasan Bob Hippy di era 1950-an atau masa Johanis Auri? Bila kita mau pasti bisa. Kuncinya: reformasi secara menyeluruh organsisasi PSSI. Gelar dan kemas kompetisi yang baik seperti model BASRI dengan bungkus LIDI. Dengan demikian dari Desa menuju pentas dunia tidak hanya sebatas angan-angan. Mungkinkah terwujud? Kita tunggu saja. Joko H